Di akhir pemerintahan Soeharto, mantan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Ary Mardjono, punya cerita menarik mengenai sejumlah menteri Kabinet Pembangunan VII yang tak lagi loyal kepada sang jenderal besar.
Saat itu, 20 Mei 1998, Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri (Menko Ekuin) Ginanjar Kartasasmita, menggelar rapat koordinasi di kantor Bappenas, Jakarta. Rapat yang berlangsung pukul 17.00-19.00 WIB itu dihadiri 15 menteri.
Ada tiga menteri tidak hadir, yaitu Menteri Lingkungan Hidup Prof Dr Juwono Sudarsono sedang sakit, Menteri Perindustrian dan Perdagangan Bob Hasan, serta Menteri Keuangan Dr Fuad Bawazier.
Dalam kesempatan itu Ginanjar menyatakan," Di Indonesia sekarang ini satu-satunya orang yang paling dekat dan paling dipercaya IMF adalah saya. IMF bahkan mengatakan I count on you (saya mempercayai kamu) kepada saya."
Selanjutnya Ginajar menyatakan, "Umur Republik Indonesia saat ini, ditinjau dari segi ekonomi hanya tinggal lima hari, sehingga merupakan situasi gawat apabila tidak tidak diambil langkah-langkah reformasi di segala bidang. Kabinet baru yang akan dibentuk Pak Harto juga tidak akan menyelesaikan masalah."
Lebih mengejutkan Ginanjar menyatakan tidak akan bersedia duduk dalam kabinet yang akan dibentuk Soeharto keesokan harinya, 21 Mei 1998. "Kalau para menteri yang lain sependapat dengan saya, mari kita secara bersama-sama menuli surat untuk Pak Harto," tambah Ginanjar.
Ajakan Ginanjar ternyata mujarab. Sebanyak 14 dari 15 menteri yang hadir, kecuali Ary Mardjono, menyatakan sepakat. Tak ingin tinggal diam, mantan Sekjen Partai Golkar tersebut mengajukan empat pertanyaan kepada Ginanjar.
Pada intinya purnawirawan Letnan Jenderal itu mempertanyakan mengapa dalam kondisi Soeharto menghadapi masalah berat, para menterinya justru meninggalkannya.
Ginanjar yang sudah cukup lama ikut dalam pemerintahan Soeharto justru menjawab enteng," Kalau Pak Ary Mardjono tidak mau mundur, juga tidak apa-apa."
Draf penguduran para menteri dibuat Akbar Tandjung dan dikirimkan kepada Soeharto. Selanjutnya para menteri tersebut melanjutkan pertemuan di rumah Wakil Presiden BJ Habibie.
Ary kemudian mendapat informasi dari Mbak Tutut (saat itu menjabat Menteri Sosial), surat dari 14 menteri telah diterima Soeharto sembari menambahkan ayahnya akan mundur pada 21 Mei 1998.
Beberapa hari setelah BJ Habibie dilantik menjadi presiden, Ary mengunjungi pakar pesawat terbang tersebut atas permintaan Marwah Daud Ibrahim. Satu jam Habibie bercerita panjang lebar, yang pada akhirnya curhat mengenai kesulitannya bertemu Soeharto.
Tiga Pesan Pribadi
Habibie kemudian minta bantuan Ary Mardjono menyampaikan tiga pesan pribadi kepada Soeharto. Sayang Ary tak mengungkapkan apa isi pesan Habibie tersebut.
"Tiga poin pesan pribadi itu tidak dapat saya sampaikan di sini mengingat pesan penting dan bersifat sangat pribad itu saya anggap off the record," kata Ary.
Malam itu juga Ary menemui Soeharto. Selama mendengar isi pesan dari Habibie, Soeharto hanya tersenyum. "Saya melihat ada keraguan tersirat dari wajahnya. Pada kahirnya saya baru menyadari bahwa ternyata salah satu dari poin pesan BJ Habibie itu tidak dapat dilaksanakannya," kenang Ary.
Alumni Akademi Militer Nasional 1962 itu memberanikan diri bertanya, apakah Soeharto marah kepada Habibie sehingga menolak bertemu. "Saya justru menjaga nama baik Habibie. Apa komentar orang kalau presiden baru sering bertemu dengan mantan presiden, sehingga presiden baru terkesan berada di bawah bayang-bayang mantan presiden," jawab Soeharto.
Jawaban tersebut, menurut pendapat Ary, merupakan kalimat bijaksana. Namun Ary meyakini jawaban itu bukan jawaban sesungguhnya dari Soeharto.
Saat itu sebenarnya Ary ingin memberitahu Soeharto mengenai rapat yang digelar Ginanjar Kartasasmita sehari sebelum pengunduran diri sang presiden.
"Agar beliau memperoleh informasi akurat dari tangan pertama. Namun saya tidak sampai hati menambah kecewa hati Pak Harto," ungkap Ary Mardjono.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar