Selasa, 15 Januari 2013

Kisah-kisah Unik Mengenai Soeharto (4)


RACHMAT Witoelar boleh dibilang nekat. Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP Golkar 1988-1993 tersebut dengan berani hendak menghilangkan pengaruh  Soeharto di partai beringin dengan  menganulir lembaga Dewan Pembina dan mengubah AD/ART pada 1990.


Padahal ia tahu persis, Soeharto memegang posisi  sebagai Ketua Dewan Pembina Golkar selama 15 tahunn, sebuah lembaga yang sangat disakralkan.
"Saya mengadakan rapat-rapat dan koordinasi di sana-sini untuk mulai mengusulkan perubahan AD/ART. Di saat sibuk itulah saya dipanggil Pak Harto," kata Rachmat Witoelar.
"Saudara dilaporkan hendak mengubah AD/ART, mengapa begitu," tanya Soeharto kepada Rachmat. Spontan ia menjawab pola kebijakan saat itu sudah tidak sesuai lagi. "Lho Mat, itu sudah sesuai dengan zaman. 
Saudara Rachmat tahu zaman itu bagaimana," batah Soeharto.
Tak mau kalah, Rachmat Witoelar menyatakan kebijakan dari atas ke bawah memang sesuai diterapkan pada masa lalu, namun sekarang orang sudah mulai melek politik. 
"Intinya, mereka ingin pendapatnya didengar. Dengan kata lain, berbagai keinginan daerah itu jangan kemudian dimentahkan lagi oleh pusat dan Dewan Pembina," ujar Rachmat kepada Soeharto.
Rupanya penguasa Orde Baru tersebut meradang mendengar alasan Rachmat Witoelar. "Saudara salah. Saudara Rachmat tahu apa soal politik," ujar Soeharto.
Rachmat sadar betul Soeharto sedang marah, meski masih tetap mempertahankan kesantunan dan tersenyum. "Pada sisi lain, mungkin ketika itu beliau memandang saya sebagai seorang muda yang anarkis dan banyak maunya," kenang Rachmat.
Selanjutnya soeharto memberi nasihat. "Negeri ini harus stabil. Golkar harus tampil sebagai single majority  (mayoritas tunggal), tidak boleh berkoalisi dengan kekuatan lain. 
Kalau itu terjadi, maka akan terjadi pengorbanan-pengorbanan politik dan sosial yang tidak perlu," kata sang presiden.
Setelah lima tahun menjadi Sekjen Golkar, karier politik pria kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat itu, mulai surut. Ia harus meninggalkan tanah air karena mendapat tugas sebagai Duta Besar RI di Moskow, pada 1993.
"Ya mungkin Pak Harto menganggap saya sudah sebagai pengganggu. Saya dianggap masih muda dan harus belajar dulu di luar. Jadi saya 'disekolahkan' olehnya," kata pria kelahiran 2 Juni 1942 tersebut.
Diajak diskusi
Meski merasa dibuang, Rachmat  mengaku heran sering dipanggil ke Jakarta oleh Soeharto melalui Menteri Luar Negeri Ali Alatas. 
Koleganya sesama duta besar juga keheranan mengetahui dirinya sering dipanggil ke Jakarta. Dubes yang lain paling cepat setahun sekali dipanggil presiden, bahkan ada yang seperti sama sekali dilupakan.
Ketika sekitar satu jam berdialog dengan Soeharto, hanya 10 menit diisi dengan basa-basi dan masalah luar negeri. Selebihnya Soeharto mengarahkan pembicaraan mengenai dinamika gejolak politik di dalam negeri.
Suatu ketika Soeharto bertanya soal gerakan mahasiswa. "Ketika itu Saudara Rachmat bicara apa tentang gerakan mahasiswa," tanya Soeharto. Kemudian Rachmat menjelaskan soal perestroika, sebuah gerakan yang melawan kemapanan di Uni Sovyet.
"Maaf Bapak, kalau yang serupa itu (perestroika) terjadi di Indonesia, ya akan ditujukan untuk melawan pemerintah yang berkuasa," katanya kepada Soeharto.
 Dalam kesempatan bertemu, Soeharto juga bertanya pendapat Racmat Witoelar mengenai apa yang terjadi pada pers pada masa itu. "Setahu saya, ini ada kaitan dengan perubahan politik dalam negeri, sebagai konsekuensi dari mulai banyak orang yang melek politik," kata Rachmat kepada Soeharto.
Mantan Menteri Lingkungan Hidup di Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) I tersebut mengaku sulit menggambarkan perasaan terhadap Soeharto menghadapi masa sulit  menjelang pengunduran dirinya 21 Mei 1998. 
"Semua yang saya jelaskan kepada Pak Harto sesuai pertanyaan-pertanyaannya, sebenarnya telah ada benang merah sejak dulu. Bahwa telah terjadi perubahan iklim politik dan bahwa masyarakat sekarang sudah sadar politik," kata Ketua Dewan Perubahan Iklim tersebut.
Rachmat ingat betul saat berusaha bicara dengan beberapa orang dekat Soeharto agar membujuk penguasa Orde Baru itu untuk pensiun saja. "Karena kalau tidak, pasti Pak Harto akan diturunkan orang. Namun tidak seorang pun mau melakukannya," sesal Rachmat Witoelar. 



Kisah-kisah Unik Mengenai Soeharto (3)


Di akhir pemerintahan Soeharto, mantan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Ary Mardjono, punya cerita menarik mengenai sejumlah menteri Kabinet Pembangunan VII yang tak lagi loyal kepada sang jenderal besar.


Saat itu, 20 Mei 1998, Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri (Menko Ekuin) Ginanjar Kartasasmita, menggelar rapat koordinasi di kantor Bappenas, Jakarta. Rapat yang berlangsung pukul 17.00-19.00 WIB itu dihadiri 15 menteri.
Ada tiga menteri tidak hadir, yaitu Menteri Lingkungan Hidup Prof Dr Juwono Sudarsono sedang sakit, Menteri Perindustrian dan Perdagangan Bob Hasan, serta Menteri Keuangan Dr Fuad Bawazier. 
Dalam kesempatan itu Ginanjar menyatakan," Di Indonesia sekarang ini satu-satunya orang yang paling dekat dan paling dipercaya IMF adalah saya. IMF bahkan mengatakan I count on you (saya mempercayai kamu) kepada saya." 
Selanjutnya Ginajar menyatakan, "Umur Republik Indonesia saat ini, ditinjau dari segi ekonomi hanya tinggal lima hari, sehingga merupakan situasi gawat apabila tidak tidak diambil langkah-langkah reformasi di segala bidang. Kabinet baru yang akan dibentuk Pak Harto juga tidak akan menyelesaikan masalah." 
Lebih mengejutkan Ginanjar menyatakan tidak akan bersedia duduk dalam kabinet yang akan dibentuk Soeharto keesokan harinya, 21 Mei 1998. "Kalau para menteri yang lain sependapat dengan saya, mari kita secara bersama-sama menuli surat untuk Pak Harto," tambah Ginanjar.
Ajakan Ginanjar ternyata mujarab. Sebanyak 14 dari 15 menteri yang hadir, kecuali Ary Mardjono, menyatakan sepakat. Tak ingin tinggal diam, mantan Sekjen Partai Golkar tersebut mengajukan empat pertanyaan kepada Ginanjar.
Pada intinya purnawirawan Letnan Jenderal itu mempertanyakan mengapa dalam kondisi Soeharto menghadapi masalah berat, para menterinya justru meninggalkannya. 
Ginanjar yang sudah cukup lama ikut dalam pemerintahan Soeharto justru menjawab enteng," Kalau Pak Ary Mardjono tidak mau mundur, juga tidak apa-apa."
Draf penguduran para menteri dibuat Akbar Tandjung dan dikirimkan kepada Soeharto. Selanjutnya para menteri tersebut melanjutkan pertemuan di rumah Wakil Presiden BJ Habibie. 
Ary kemudian mendapat informasi dari Mbak Tutut (saat itu menjabat Menteri Sosial), surat dari 14 menteri telah diterima Soeharto sembari menambahkan ayahnya akan mundur pada 21 Mei 1998.
Beberapa hari setelah BJ Habibie dilantik menjadi presiden, Ary mengunjungi pakar pesawat terbang tersebut atas permintaan Marwah Daud Ibrahim. Satu jam Habibie bercerita panjang lebar, yang pada akhirnya curhat mengenai kesulitannya bertemu Soeharto.

Tiga Pesan Pribadi
Habibie kemudian minta bantuan Ary Mardjono menyampaikan tiga pesan pribadi kepada Soeharto. Sayang Ary tak mengungkapkan apa isi pesan Habibie tersebut. 
"Tiga poin pesan pribadi itu tidak dapat saya sampaikan di sini mengingat pesan penting dan bersifat sangat pribad itu saya anggap off the record," kata Ary.
Malam itu juga Ary menemui Soeharto. Selama mendengar isi pesan dari Habibie, Soeharto hanya tersenyum. "Saya melihat ada keraguan tersirat dari wajahnya. Pada kahirnya saya baru menyadari bahwa ternyata salah satu dari poin pesan BJ Habibie itu tidak dapat dilaksanakannya," kenang Ary.
 Alumni Akademi Militer Nasional 1962 itu memberanikan diri bertanya, apakah Soeharto marah kepada Habibie sehingga menolak bertemu. "Saya justru menjaga nama baik Habibie. Apa komentar orang kalau presiden baru sering bertemu dengan mantan presiden, sehingga presiden baru terkesan berada di bawah bayang-bayang mantan presiden," jawab Soeharto.
Jawaban tersebut, menurut pendapat Ary, merupakan kalimat bijaksana. Namun Ary meyakini jawaban itu bukan jawaban sesungguhnya dari Soeharto. 
Saat itu sebenarnya Ary ingin memberitahu Soeharto mengenai rapat yang digelar Ginanjar Kartasasmita sehari sebelum pengunduran diri sang presiden. 
"Agar beliau memperoleh informasi akurat dari tangan pertama. Namun saya tidak sampai hati menambah kecewa hati Pak Harto," ungkap Ary Mardjono.



Kisah-kisah Unik Mengenai Soeharto (2)


WISMOYO Aris Munandar, mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) punya pengalaman unik ketika berhubungan dengan Soeharto. Pengalaman pertama saat terjadi kerusuhan di jakarta yang terkenal dengan sebutan Malapetaka 15 Januari (Malari) 1974.


Saat itu mahasiswa berdemonstrasi dan melakukan tindakan anarkis, menuntut Soeharto turun dari jabatan sebagai presiden. 
"Pada waktu itu saya masi berpangkat Mayor dan menjadi Wakil Asisten Pengamanan Kopassanda (kini bernama Kopassus). Saya ditugaskan menyampaikan pesan Komandan Kopassanda kepada Presiden Soeharto," kata purnawirawan jenderal bintang empat itu.
Maksud pesan itu, agar Soeharto tidak ragu-ragu sehingga ia bisa membaca situasi dengan jelas. Wismoyo ditemui Soeharto di rumahnya,  Jl Cendana, Jakarta. Saat itu Seoharto mengenakan sarung dan kaus oblong. "Bisa dibayangkan, saya yang seorang Mayor menghadap Presiden, pasti deg-degan," ujar Wismoyo
"Ono opo (Ada apa)," tanya Soeharto. Wismoyo kemudian menyampaikan pesan Komandan Jenderal Kopassanda bahwa Kopassanda tetap setia kepada Presiden RI. Soeharto tanpak santai mendengar pesan itu. 
"Setia iku opo (Setia itu apa)," tanya Soeharto. Wismoyo terhenyak, tidak menduga mendapat pertanyaan seperti itu. Namun Soeharto kemudian mencairkan suasana dengan menjelaskan setia itu berarti memegang teguh kebersamaan dalam mencapai cita-cita.
"Kalau kamu ingin menjadi pribadi yang maju, kamu harus pandai mengenal apa yang terjadi, pandai melihat, pandai mendengar, dan pandai menganalisis," kata Soeharto kepada Wismoyo.
Pengalaman unik kedua yaitu ketika Wismoyo hendak meminang  adik ipar Soeharto, Datit Siti Hardjanti (adik kandung Ny Tien Soeharto).  
"Walaupun orang Jawa, saya tidak memahami betul tata krama Jawa hinggil (tinggi). Saya bahkan tidak bisa berbahasa Jawa krama (halus). Namun apa daya cinta saya berlabuh kepada Datit Siti Hardjanti, adik kandung Ibu Tien Soeharto," kenang mantan Komandan Jenderal Kopassus itu.
Datit ternyata minta Wismoyo meminang dirinya kepada Soeharto dan Ny Tien. "Sehari sebelum persitiwa penting dalam hidup saya itu, saya mempersiapkan diri lahir dan batin. Dengan grogi saya bolak-balik membersihkan sepatu supaya berkilau," ujar Wismoyo.
Wismoyo berangkat ke rumah Soeharto sendirian. Setelah Wsmoyo masuk  ruang pertemuan tanpa melepas sepatu,  Ny Tien memperhatikan dirinya dari bawah sampai ke atas. Tentu saja Wismoyo grogi bukan kepalang.
"Wong lanang kok ingah-ingih  (Laki-laki kok tersipu-sipu)," kata Ibu Tien. Wismoyo kemudian memandang ke arah Soeharto yang saat itu hanya tersenyum. Wismoyo menunduk, terdiam seribu bahasa. "Aku mbiyen yo ingah-ingih  (Saya dulu juga tersipu-sipu)," ujar Soeharto sambil tersenyum.
Celetukan Soeharto tersebut membangkitkan kembali semangat Wismoyo untuk menyampaikan maksud kedatangannya. "Sungguh kalimat Pak Harto memotovasi kembali semangat saya. Peristiwa kecil itu sangat membekas di hati saya. Setiap pemimpin harus berani menyelamatkan bawahannya yang bertujuan baik," tambah pria yang pernah menjabat Pangdam Diponegoro itu.
Keputusan berani
Pada suatu waktu Wismoyo menanyakan kepada Soeharto, apa yang membuatnya berani mengambil keputusan cepat untuk mengatasi pemberontakan PKI yang melakukan Gerakan 30 September 1965.  
"Saya ini tentara. Tentara itu pedoman hidupnya Sapta Marga. Kami patriot Indonesia, pendukung dan pembela ideologi negara yang bertanggungjawab dan tidak mengenal menyerah. 
Melihat pemberontak yang komunis, sedangkan ideologi negara adalah Pancasila, ya saya harus melawan. Kalau saya kalah, saya akan memberontak," jawab Soeharto
Saat terjadi pemberontakan PKI, Soeharto menjabat sebagai Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad). 
"Tidak mudah memutuskan sesuatu seperti dilakukan Pak Harto pada saat itu. Keadaan sangat sulit, namun Pak Harto punya nyali. Keputusan itu sangat beliau yakini kebenarannya. Alon-alon asal kelakon (Pelan-pelan asal terlaksana)," kata Wismoyo. 



Kisah-kisah Unik Mengenai Soeharto (1)


Buku Pak Harto The Untold Stories terbitan Gramedia Pustaka Utama mulai beredar di pasaran. Dalam buku itu, 113 tokoh, di antaranya mantan Perdana Menteri Malaysia Tun Mahathir Mohamad dan mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew, menyampaikan pengalaman menarik terkait Soeharto. 


Berikut petikan cerita mereka, yang disampaikan secara bersambung, dimulai dari penuturan Abdul Rachman Ramly, mantan Dirut Pertamina.
DUA anggota marinir Indonesia, Usman dan Harun, divonis hukuman mati oleh pengadilan Singapura pada pemerintahan Orde Lama. Mereka dituduh melakukan infiltrasi ke Singapura terkait operasi konfrontasi dengan Malaysia.
Untuk menyelesaikan masalah itu, Soeharto menunjuk Abdul Rachman (AR) Ramly yang ketika itu berpangkat Letnan Kolonel Angkatan Darat, sebagai liason officer (perwira penghubung), mewakili pemerintah RI. Waktu itu Indonesia  belum punya hubungan diplomatik dengan Singapura.
Ramly kemudian bertemu dengan pemerintah Singapura, menyampaikan informasi bahwa pemerintahan di Indonesia sudah beralih kepada Orde Baru yang berkeinginan Usman dan Harun tidak dihukum gantung. Ternyata keinginan itu membentur tembok. 
Singapura menyatakan masalah Usman dan Harun harus diselesaikan secara hukum. Singapura termasuk negara persemakmuran sehingga keputusan hukum tertinggi ada di London, Inggris.  Dibantu pengacara Singapura, pemerintah RI  mengajukan banding ke London. Hasilnya, banding ditolak.
Ramly kemudian melapor kepada Soeharto, meskipun beberapa orang di Departemen Luar Negeri menyarankan agar tidak perlu menceritakan masalah itu kepada Presiden. 
"Bagi kami, masalah anak buah harus kami tuntaskan. Bagi saya pribadi, saya juga tidak bisa membiarkan warga negara Indonesia mendapat masalah di luar negeri. Saya tetap melapor ke Pak Harto," kata Ramly.
"Mengapa Singapura ingin sekali menggantung mereka," tanya Pak Harto kepada Ramly. 
"Kesimpulan umum kami, Pak, Singapura itu kan negara kecil. Sebagai negara kecil, mereka ingin eksis, maka mereka menggunakan alasan rule of law yang harus ditegakkan. Hukum yang diterapkan di Singapura adalah hukuman mati," jawab Ramly.
"Bagaimanapun kita tetap harus berusaha keras agar Usman dan Harus tidak digantung," kata Soeharto. Ramly kemudian minta kepada Soeharto menulis surat kepada pemerintah Singapura, isinya minta agar Usman dan Harun tidak dihukum mati.
Soeharto memenuhi saran Ramly. Berbekal surat tersebut, Ramly menemui Presiden Singapura, Yusuf Ishak, yang didampingi Wakil Perdana Menteri. Sang presiden menyatakan, urusan pemerintahan berada di tangan Perdana Menteri Lee Kuan Yew, sedang dirinya hanyalah lambang negara tanpa kewenangan pemerintahan.
Karangan Bunga
Celakanya, saat itu Lee tengah dalam perjalanan ke Amerika Serikat. Dari penelusuran Ramly, Lee ternyata singgah di  Tokyo, Jepang. Ramly kemudian minta bantuan Duta Besar RI di Jepang, Rukminto, menemui Lee Kuan Yew untuk menyampaikan permohonan Soeharto terkait Usman dan  Harun.
Ternyata Lee tidak bersedia menanggapi permohonan itu dengan alasan sedang dalam kondisi cuti dan tidak punya hak mengambil keputusan apapun. Menurut Lee, Wakil Perdana Menteri Singapura yang bertanggungjawab.
"Baiklah, surat Presiden Soeharto sudah kami terima dan akan kami pikirankan," kata Wakil Perdana Menteri Singapura yang ditemui Ramly. Sepuluh hari kemudian, pemerintah Singapura menyatakan hukuman mati tetap dilaksanakan. 
Tak pelak hubungan Indonesia-Singapura menegang. Jelang eksekusi hukuman gantung, seluruh staf Kedubes RI di Singapura dipulangkan, kecuali atase pertahanan dan beberapa staf lain. Kapal-kapal RI  juga pulang membawa warga negara Indonesia.
Meski gagal meloloskan Usman dan Harun dari tiang gantungan, Soeharto punya cara tersendiri untuk membela mereka. "Ketika PM Lee ingin berkunjung ke Indonesia, dua tahun setelah hukuman mati dilaksanakan, Pak Harto mempersilakan datang. 
Syaratnya, harus meletakkan karangan bunga secara langsung di makam Usman dan Harun di Taman makam Pahlawan Kalibata," kata Ramly.
Menurut Ramly syarat itu tidak lazim. 
"Namun entah dengan pertimbangan apa, PM Lee setuju meletakkan karangan bunga di makam Usman dan Harun. Baru setelah itu hunungan Jakarta-Singapura membaik," ujar Ramly.