RACHMAT Witoelar boleh dibilang nekat. Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP Golkar 1988-1993 tersebut dengan berani hendak menghilangkan pengaruh Soeharto di partai beringin dengan menganulir lembaga Dewan Pembina dan mengubah AD/ART pada 1990.
Padahal ia tahu persis, Soeharto memegang posisi sebagai Ketua Dewan Pembina Golkar selama 15 tahunn, sebuah lembaga yang sangat disakralkan.
"Saya mengadakan rapat-rapat dan koordinasi di sana-sini untuk mulai mengusulkan perubahan AD/ART. Di saat sibuk itulah saya dipanggil Pak Harto," kata Rachmat Witoelar.
"Saudara dilaporkan hendak mengubah AD/ART, mengapa begitu," tanya Soeharto kepada Rachmat. Spontan ia menjawab pola kebijakan saat itu sudah tidak sesuai lagi. "Lho Mat, itu sudah sesuai dengan zaman.
Saudara Rachmat tahu zaman itu bagaimana," batah Soeharto.
Tak mau kalah, Rachmat Witoelar menyatakan kebijakan dari atas ke bawah memang sesuai diterapkan pada masa lalu, namun sekarang orang sudah mulai melek politik.
"Intinya, mereka ingin pendapatnya didengar. Dengan kata lain, berbagai keinginan daerah itu jangan kemudian dimentahkan lagi oleh pusat dan Dewan Pembina," ujar Rachmat kepada Soeharto.
Rupanya penguasa Orde Baru tersebut meradang mendengar alasan Rachmat Witoelar. "Saudara salah. Saudara Rachmat tahu apa soal politik," ujar Soeharto.
Rachmat sadar betul Soeharto sedang marah, meski masih tetap mempertahankan kesantunan dan tersenyum. "Pada sisi lain, mungkin ketika itu beliau memandang saya sebagai seorang muda yang anarkis dan banyak maunya," kenang Rachmat.
Selanjutnya soeharto memberi nasihat. "Negeri ini harus stabil. Golkar harus tampil sebagai single majority (mayoritas tunggal), tidak boleh berkoalisi dengan kekuatan lain.
Kalau itu terjadi, maka akan terjadi pengorbanan-pengorbanan politik dan sosial yang tidak perlu," kata sang presiden.
Setelah lima tahun menjadi Sekjen Golkar, karier politik pria kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat itu, mulai surut. Ia harus meninggalkan tanah air karena mendapat tugas sebagai Duta Besar RI di Moskow, pada 1993.
"Ya mungkin Pak Harto menganggap saya sudah sebagai pengganggu. Saya dianggap masih muda dan harus belajar dulu di luar. Jadi saya 'disekolahkan' olehnya," kata pria kelahiran 2 Juni 1942 tersebut.
Diajak diskusi
Meski merasa dibuang, Rachmat mengaku heran sering dipanggil ke Jakarta oleh Soeharto melalui Menteri Luar Negeri Ali Alatas.
Koleganya sesama duta besar juga keheranan mengetahui dirinya sering dipanggil ke Jakarta. Dubes yang lain paling cepat setahun sekali dipanggil presiden, bahkan ada yang seperti sama sekali dilupakan.
Ketika sekitar satu jam berdialog dengan Soeharto, hanya 10 menit diisi dengan basa-basi dan masalah luar negeri. Selebihnya Soeharto mengarahkan pembicaraan mengenai dinamika gejolak politik di dalam negeri.
Suatu ketika Soeharto bertanya soal gerakan mahasiswa. "Ketika itu Saudara Rachmat bicara apa tentang gerakan mahasiswa," tanya Soeharto. Kemudian Rachmat menjelaskan soal perestroika, sebuah gerakan yang melawan kemapanan di Uni Sovyet.
"Maaf Bapak, kalau yang serupa itu (perestroika) terjadi di Indonesia, ya akan ditujukan untuk melawan pemerintah yang berkuasa," katanya kepada Soeharto.
Dalam kesempatan bertemu, Soeharto juga bertanya pendapat Racmat Witoelar mengenai apa yang terjadi pada pers pada masa itu. "Setahu saya, ini ada kaitan dengan perubahan politik dalam negeri, sebagai konsekuensi dari mulai banyak orang yang melek politik," kata Rachmat kepada Soeharto.
Mantan Menteri Lingkungan Hidup di Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) I tersebut mengaku sulit menggambarkan perasaan terhadap Soeharto menghadapi masa sulit menjelang pengunduran dirinya 21 Mei 1998.
"Semua yang saya jelaskan kepada Pak Harto sesuai pertanyaan-pertanyaannya, sebenarnya telah ada benang merah sejak dulu. Bahwa telah terjadi perubahan iklim politik dan bahwa masyarakat sekarang sudah sadar politik," kata Ketua Dewan Perubahan Iklim tersebut.
Rachmat ingat betul saat berusaha bicara dengan beberapa orang dekat Soeharto agar membujuk penguasa Orde Baru itu untuk pensiun saja. "Karena kalau tidak, pasti Pak Harto akan diturunkan orang. Namun tidak seorang pun mau melakukannya," sesal Rachmat Witoelar.